Resensi
berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau
recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama
untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal
yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan
penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan
pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu
menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.
Secara singkat, resensi ialah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Lebih detil lagi, tujuan resensi adalah:
- - Memberikan informasi atau pemahaman yang
komprehensif (mendalam) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah
buku.
- - Mengajak pembaca untuk memikirkan,
merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul
dalam sebuah buku.
- - Memberikan pertimbangan kepada pembaca
apakah buku itu pantas mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Setelah mengetahui definisi serta tujuan
dari resensi yang dibuat oleh resentator, kira-kira unsur apa saja yang
terkandung di dalam sebuah resensi?
Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan
unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1.)
Membuat judul resensi
Judul
resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti
tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah
resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan
isi resensi.
2.)
Menyusun data buku
Data
buku biasanya disusun sebagai berikut:
1. Judul
buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan
judul aslinya).
2. Pengarang
(Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang
tertera pada buku).
3. Penerbit.
4. Tahun
terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa).
5. Tebal
buku.
6. Harga
buku (jika diperlukan).
3.)
Membuat pembukaan
Pembukaan
dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
1. Memperkenalkan
siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang
diperoleh
2. Membandingkan
dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh
pengarang lain
3. Memaparkan
kekhasan atau sosok pengarang
4. Memaparkan
keunikan buku
5. Merumuskan
tema buku
6. Mengungkapkan
kritik terhadap kelemahan buku
7. Mengungkapkan
kesan terhadap buku
8. Memperkenalkan
penerbit
9. Mengajukan
pertanyaan
10. Membuka
dialog
4.)
Tubuh atau isi pernyataan resensi buku
Tubuh
atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a. Sinopsis
atau isi buku secara bernas dan kronologis
b. Ulasan
singkat buku dengan kutipan secukupnya
c. Keunggulan
buku
d. Kelemahan
buku
e. Rumusan
kerangka buku
f.
Tinjauan bahasa (mudah atau
berbelit-belit)
g. Adanya
kesalahan cetak
Berikut adalah contoh meresensi buku
yang bena
Judul
buku : Desaku, Sekolahku
Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan
Penerbit : Pustaka Q-Tha
Tahun
Terbit : Agustus 2007
Tebal
buku : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm
Ketika
sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk
menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga
barang-barang di pasaran yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas
lulusannya masih jauh dari yang diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang
menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan dan tidak menarik atas proses
pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah dengan rasa tertekan dan keterpaksaan.
Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah
(PR) yang menyebalkan. Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi
ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di
sekolah.
Formalitas
sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari
lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga
miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini ?
Dan
pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah adalah symbol
kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan hidup kedepan. Perlu
disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu diterimakan, ketika itu pula
status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa sang intelektual melainkan
“pengangguran” bila anda belum produktif.
Sebagai
sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya
dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini ? Pertanyaannya,
apa yang bisa anda kerjakan/ hasilkan ? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah
di tangan tapi tidak berdaya ?
Kenyataan
cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang
miskin dilarang sekolah.”
Proses
belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang nyaman serta
menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana informal justru
sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan menyatu dengan
masyarakat. Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan
kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah, melainkan pengetahuan dan
kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang dibangun, melainkan kompetisi
memahami pengetahuan dan membagikannya kepada kawan-kawan lainnya. Hanya 4
orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN) 2006 yang lalu; itu pun
tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan bersama-sama.
Dalam buku ini tereksplorasi bagaimana
anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas
akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan
menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan
Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad;
Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar
dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik;
“Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio
Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain.
Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya:
bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa
murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat
dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas Belajar.
Djuneidi
Saripurnawan,
RDC
Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM Yogyakarta.
Sumber :
http://berita-i.blogspot.com/2013/05/contoh-resensi-buku-yang-benar.html
Thank's for information..
BalasHapusjgn prnh bosan tuk bagi-bagi info,okeh :)