Sabtu, 01 Juni 2013

Pengertian dan Langkah-langkah Meresensi Sebuah Buku

Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.

Secara singkat, resensi ialah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Lebih detil lagi, tujuan resensi adalah:
-   - Memberikan informasi atau pemahaman yang komprehensif (mendalam) tentang apa yang tampak dan terungkap dalam sebuah buku.
-      - Mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul dalam sebuah buku.
-     - Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah buku itu pantas mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Setelah mengetahui definisi serta tujuan dari resensi yang dibuat oleh resentator, kira-kira unsur apa saja yang terkandung di dalam sebuah resensi?

Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1.)    Membuat judul resensi
Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.
2.)    Menyusun data buku
Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
1.      Judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya).
2.      Pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku).
3.      Penerbit.
4.      Tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa).
5.      Tebal buku.
6.      Harga buku (jika diperlukan).
3.)    Membuat pembukaan
Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
1.      Memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh
2.      Membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain
3.      Memaparkan kekhasan atau sosok pengarang
4.      Memaparkan keunikan buku
5.      Merumuskan tema buku
6.      Mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku
7.      Mengungkapkan kesan terhadap buku
8.      Memperkenalkan penerbit
9.      Mengajukan pertanyaan
10.  Membuka dialog
4.)    Tubuh atau isi pernyataan resensi buku
Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a.       Sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis
b.      Ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya
c.       Keunggulan buku
d.      Kelemahan buku
e.      Rumusan kerangka buku
f.        Tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit)
g.       Adanya kesalahan cetak


Berikut adalah contoh meresensi buku yang bena

 

Judul buku      : Desaku, Sekolahku
Penulis             : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan
Penerbit           : Pustaka Q-Tha
Tahun Terbit    : Agustus 2007
Tebal buku      : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm

Ketika sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga barang-barang di pasaran yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan. Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah.

Formalitas sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini ?
Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah adalah symbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan hidup kedepan. Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum produktif.

Sebagai sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini ? Pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan/ hasilkan ? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi tidak berdaya ?
Kenyataan cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang miskin dilarang sekolah.”

Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan menyatu dengan masyarakat. Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah, melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN) 2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan bersama-sama.

Dalam buku ini tereksplorasi bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad; Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik; “Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain.

Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas Belajar.

Djuneidi Saripurnawan,
RDC Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM Yogyakarta.


Sumber :
http://berita-i.blogspot.com/2013/05/contoh-resensi-buku-yang-benar.html

1 komentar:

  1. Thank's for information..
    jgn prnh bosan tuk bagi-bagi info,okeh :)

    BalasHapus